Senin, 20 Februari 2012
Selasa, 24 Januari 2012
Fotografi Makro
Lensa makro yang cukup mahal bisa digantikan dengan filter makro, makro converter atau ekstenstions tube makro.
Mengambil Air
Masyarakat di kawasan karst gunung sewu (pacitan, wonogiri, gunung kidul) rela untuk berjalan beberapa KM demi untuk mendapatkan air yang jumlahnya terbatas ketika musim kering tiba.
Hanya Selembar Daun
Menjadikan obyek yang sedehan menjadi foto yang cukup menarik dengan bermain komposisi warna dan tekstur.
FOTOGRAFI
I.
BASIC FOTOGRAFI
A.
Apa itu Foto?
Bagi kebanyakan orang, pertanyaan “Apa itu foto?” mungkin dianggap sepele
dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Bahkan ketika diajukan kepada para peminat
fotografi, jawaban yang biasanya mengemuka adalah definisi yang diberikan oleh
kamus, yaitu gambar yang dihasilkan dengan menangkap cahaya pada medium yang telah dilapisi bahan kimia peka cahaya
atau sensor digital (kombinasi dari photo yang berarti cahaya, dan graph yang berarti
catatan, tulisan, atau lukisan). Tidak banyak yang sadar bahwa di balik
kesederhanaan artefak yang benama foto tersimpan kerumitan yang membuat
definisi foto tidak sesederhana yang dibayangkan.
Pada level wujud, foto memang sebuah gambar, sebuah penyerupaan yang
dihasilkan lewat proses yang dinamakan fotografi. Namun pada definisi paling
dasar ini pun, tersimpan persoalan. Ada banyak jenis gambar yang dapat
digolongkan sebagai foto. Pada abad ke-19, ada daguerrotype, heliotype, cetak
albumen, cetak gelatin perak, photogravure,
dan lukisan fotogenik. Di abad ke-20, ada polaroid, pindai elektronik
(electronic scanner), foto digital, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan wujud
seperti itu mengingatkan kepada kita akan kerumitan yang inheren pada sifat
foto itu sendiri: Definisi foto sebagai objek selalu terkait dengan (dan
bergantung pada) konteks sejarah, konteks sosial, konteks budaya, dan konteks
teknologi. Dengan kata lain, konteks-konteks itulah yang sebenarnya menjadi
salah satu penentu definisi, makna, dan nilai foto.
Kerumitan definisi foto tidak hanya terjadi pada level wujud. Secara
fungsional, definisi, makna, dan nilai foto terus mengalami perubahan sejalan
dengan transformasi dan metamorfosis wujudnya. Dari segi warna, foto hitam
putih dan foto warna adalah dua hal yang berbeda. Dari segi ukuran dan bentuk,
foto besar dan foto kecil, foto persegi dan foto persegi panjang atau bulat
juga berbeda. Kualitas pencetakan (mengilat atau dof, dicetak di atas kertas
tipis atau tebal), media yang digunakan (analog atau digital), cara penyimpanan
dan penyajian (dalam dompet, album, bingkai, atau media penyimpanan dan
penyajian digital), dan tujuan penggunaan (untuk kartu tanda pengenal diri,
koran, majalah, atau pameran di galeri) juga mengubah dan memengaruhi pemahaman
kita terhadap nilai dan status foto sebagai objek. Foto KTP yang berfungsi
sebagai penanda jatidiri, misalnya, boleh jadi berubah status dan mendapat
tanggapan yang berbeda jika dipajang di galeri dan dinyatakan sebagai spesimen
praktik fotografi yang khas.
Kerumitan definisi foto tidak hanya melibatkan wujud an fungsinya, namun
juga pada genre-genre yang dilabelkan kepadanya. Pengategorian foto ke dalam
genre-genre yang berbeda merupakan upaya mengodifikasi referensi dan status
foto dengan menggunakan asumsi-asumsi yang dikonstruksi. Label genre foto seni,
misalnya, melibatkan asumsi-asumsi yang berbeda dengan asumsi-asumsi yang
disandang oleh foto dokumentasi. Akibat pengategorian dan konstruksi
asumsi-asumsi yang dipakai untuk pengategorian itu, foto yang fungsional –
misalnya, foto dokumentasi – seringkali dianggap kurang bernilai dibandingkan
dengan foto yang kurang atau tidak fungsional, seperti foto seni.
Proses pengategorian foto dengan menggunakan asumsi-asumsi yang
dikonstruksi ini telah terjadi sejak masa-masa awal perkembangan fotografi. The
Photographic Society, yang didirikan di London pada tahun 1853 dan kemudian
berubah nama menjadi The Royal Photographic Society, misalnya, didirikan dengan
tujuan untuk menjadikan praktik fotografi sebagai bagian dari tradisi akademik
seni rupa. Karena ketiadaan referensi yang dapat dijadikan sebagai landasan
untuk menyusun hirarki dan melakukan pengategorian genre foto pada waktu itu,
maka dipakailah asumsi-asumsi dari sumber seni visual terdekat, yaitu seni lukis.
Akibatnya, praktik fotografi terus dibayang-bayangi oleh “hantu seni lukis”:
Fotografi sebagai cabang seni tidak memiliki tradisi akademik yang mandiri.
Keberadaannya sebagai salah satu cabang praktik seni selalu dikaitkan dengan
(dan didasarkan pada) tradisi akademik seni lukis. Oleh karena itu, kita tidak
perlu heran bila praktik, apresiasi, dan kritik fotografi hingga saat ini masih
terus menggunakan paradigma-paradigma seni lukis.
Jadi, apa itu foto?
Jawaban atas pertanyaan ini akan terus bergulir dan menjadi perdebatan .
B.
Sekilas Kamera SLR?
Kamera SLR ( Single Lens Reflex ) atau D-SLR ( Digital ) merupakan kamera
dengan jendela bidik ( viewfinder ) yang memberikan gambar sesuai dengan sudut
pandang lensa melalui pantulan cermin yang terletak di belakang lensa. Pada
umumnya kamera biasa memiliki tampilan dari jendela bidik yang berbeda dengan
sudut pandang lensa karena jendela bidik tidak berada segaris dengan sudut
pandang lensa.
Eksposure / pencahayaan adalah: banyaknya sinar yang diterima oleh sensor /
film. Apabila kurang sinarnya maka foto akan terlihat cendrung gelap / under,
sedangkan apa bila kelebihan maka foto akan terlihat cendrung keterangan /
over. Pencahayaan sendiri merupakan kombinasi antara AV / aperture value yaitu
besar kecilnya diafragma, TV / time value / shutter speed yaitu lamanya bukaan
rana, dan terakhir ISO / iternasional standard organization yang dalam hal ini
merupakan standard internasional untuk tingkat kepekaan sensor / film.
Exposure Value (EV) adalah perpaduan antara shutter speed dan diafragma,
bisa juga dikatakan sebagai nilai seberapa terang/gelap foto tersebut. Angka EV
adalah angka untuk 1 kali exposure (1 frame 1 take), tidak berlaku untuk
double/multi exposure. Lebih lengkap lagi, EV adalah hasil perhitungan antara
speed, diafragma, dan ISO. Berikut ini rumusnya:
EV = log2(aperture2 x (1/shutter speed) x (ISO sensitivity/100))
Dalam fotografi, EV adalah banyaknya sinar yang diperlukan untuk 1 kali
exposure, angka EV juga melambangkan perpaduan yang pas antara shutter speed
dengan diafragma untuk mendapatkan exposure normal, tidak kurang dan tidak
lebih.
Jadi misalnya, Anda berada di ruangan A mendapatkan speed 1/125 dan
diafragma 5.6 serta ISO 100. Berarti nilai EV adalah 12. Dan ketika Anda berada
di ruangan B Anda mendapatkan diafragma 4, maka untuk mendapatkan nilai EV
(besar gelap/terang) yang sama, Anda sebaiknya menggunakan speed 1/250 Karena
nilai EV 1/125 & 5.6 dengan 1/250 & 4 adalah sama. Di dalam feature
kamera, beda EV dapat kita atur sesuai dengan keperluan, mengubah beda EV di
kamera sama dengan mengubah kompensasi exposure.Beda kompensasi ada yang 1/2
atau 1/3. Di kamera saya, Canon Powershot A70, dalam mode P,Av, dan TV, EV
dapat diatur seperti hal diatas. Kalau dalam mode Manual (M), beda EV dapat
dicari dengan mengkombinasikan speed dan diafragma. Berikut ini adalah contoh
beda EV , masing-masing beda EV adalah 1/3. Di buat menggunakan mode M pada
kamera, mengkombinasikan speed dan diafragma untuk mencari beda EV tersebut:
Eksposure ini sendiri sering dianalogi kan seperti kita hendak mengisi
gelas dengan air dari keran. Dimana putaran keran tersebut diibaratkan dengan
aperture, lama keran dibuka diibaratkan dengan shutter speed, gelasnya
diibaratkan dengan ISO, tekanan air diibaratkan dengan intensitas penerangan
(terang atau low light), dan terakhir airnya diibaratkan dengan sinar. Maka
jika keran kita buka lebar maka gelas akan cepat penuhnya. Sedangkan kalo keran
kita kecilin maka gelas akan lebih lama penuhnya... Dan ketika kita pake gelas
besar (iso rendah) maka kita juga akan semakin lama mengisi gelas tersebut,
beda dengan jika gelasnya kita kecilin (iso tinggi) maka gelas tersebut akan
lebih cepat penuhnya... Tapi tetap air yang digelas besar lebih banyak dari
yang di gelas kecil. Begitu pula tekanan air, semakin tinggi tekanan air
(kondisi penerangan terang), atau semakin kecil tekanan air (low light) akan
berpengaruh kepada waktu pengisian. Namun terkadang sebelum gelas penuh kita
sudah menyetop keran maka terjadilah keadaan under. Atau malah sebaliknya walau
gelas sudah penuh tapi keran belom kita tutup maka terjadilah keadaan over.
Enaknya pada zaman sekarang eksposure ini sudah dihitung otomatis oleh
camera dengan system yang namanya metering. Matering ini bekerja seperti
light/flash meter. Bedanya system ini hanya mampu mengukur continous light
saja. Dan keuntungan tekhnologi sekarang lainnya adalah foto kita bisa
dianalisa dari histogram pada camera... Sedangkan kalo zaman dulu seorang
fotografer harus membawa segepok catatan yang berisikan hal-hal seperti kalo
foto siang hari bolong av, tv, nya berapa pada iso sekian, terus kalo ada
awannya jadi sekian, kalo sore sekian, dst. prinsip kerja dari metering ini
sendiri yaitu menentukan eksposure warna abu-abu 18% (sesuai gray card) pada
suatu kondisi penerangan... Makanya apabila kita memotret benda atau keadaan
dominan putih / terang / hi key akan terlihat abu-abu/gelap pada foto kita, dan
apabila kita memotret benda dominan hitam / gelap / low key juga akan terlihat
abu-abu / pada foto kita lebih terang dari keadaan sebenarnya... Dan makanya di
camera kita ada exposure compensation (pada kelas dua digit angkanya -2 s.d.
2). Dan kesimpulan juga kalo mau memotret dengan exposure yang pas (corect
exposure) ya ukur / metering lah pada gray card yang diletakkan pada tempat
penerangan yang mau kita ukur exposurenya. satu lagi jika contras antara tempat
yang paling gelap atau terang menyebabkan sudah tidak tertangkap lagi ditail
pada tempat gelap atau terang tersebut, berarti anda harus memilih antara tetap
pada exposure itu atau mengorbankan salah satunya (mempertahankan ditail di
tempat gelap atau di tempat terang). Sukur-sukur kalo tempat gelapnya tidak
luas dan bisa kita angkat (fill in) dengan penerangan buatan seperti flash. Pada
saat kontras tinggi inilah dibutuhkannya camera dengan cakupan dynamic range
yang luas atau menggunakan tekhnik edit yang biasa kita sebut HDR.
Kembali ke komponen dari exposure:
1.
Shutter Speed
Ada pun angka pada shutter
speed adalah sebagai berikut (untuk pergeseran satu stop): ...8000, 4000, 2000,
1000, 500, 250, 125, 60, 30, 15, 8, 4, 0'5, 1', 2', 4', 8', 15', 30', bulb
(selama shutter ditekan camera akan terus merekam)... Maksud angka diatas sendiri
adalah seper (angka diatas)detik dan detik untuk tanda '. Yang perlu dicermati
bagaimana speed mempengaruhi foto kita yaitu: dengan speed tinggi subject
bergerak (apalagi diam) akan terlihat beku sehingga terlihat tajam... Sedangkan
pada speed rendah motion (gerakan) dari subject bergerak juga akan terekam oleh
camera... Dan kalau dilamakan lagi pada saat tertentu benda bergerak tidak akan
terekam sama sekali oleh camera (tidak ada pada foto).
Nah untuk menentukan speed
sendiri agar foto kita freze (beku) dan tajam ada dua hal yang harus
diperhatikan:
1.
1.1.
Speed minimal untuk membekukan gerak subject (subject
motion)
Pada dasarnya macam-macam
tingkat shutter speed untuk membekukan subject. Hal ini sangat dipengaruhi oleh
kecepatan dari si subject sendiri. Seperti kalo motret orang yang sedang pause
(pose) mungkin dengan 0,5 detik tetap beku. Tapi speed segitu belom tentu beku
kalo orangnya jalan. Antara jalan dan lari juga beda speed untuk membekukannya.
Gerakan di atas panggung mungkin beku pada speed 1/125dtk. Tapi mungkin belom
bisa membekukan motor dijalanan. Begitu pula dengan orang yang sedang balapan
tentu harus lebih cepat lagi speed untuk membekukannya. Namun selain dari
kecepatan subject sendiri, ada hal lain yang juga ikut mempengaruhi yaitu jarak
subject kita dan arah gerakannya. Semakin dekat subject semakin cepat
gerakannya. Ini alasan kenapa pesawat terbang yang begitu kencang tetapi
terlihat pelan ketika di langit. Karena jaraknya emang jauh. Kalo arah gerakan
sabject mendekati atau menjauhi kita akan beda kecepatannya ketika sisubject
bergerak sejajar dengan pandangan kita.
1.1.
1.2.
Speed minimal untuk melakukan pemotretan dengan cara
hands held (dengan cara memegang kamera tanpa tumpuan atau tripot)
Pada prinsipnya makin panjang
focal length yang kita gunakan maka akan makin gampang gerakan pada camera
kita, yang akan ikut terekam pada foto. Makannya rumus hands held ini dikaitkan
dengan panjang focal length yaitu speed = 1/(panjang focal length)
Nah disinilah IS (image stabilizer)
itu sangat berperan. IS sendiri menurut analogi saya prisipnya sama dengan
shockbreaker pada mobil. Tekhnologi berperan untuk meredam getaran yang
terjadi... Mungkin yang sering jadi pertanyaan bagusan mana sih IS pada lensa
apa pada body. Kalo menurut pendapat pribadi saya analoginya sama ketika shock
pada motor berpindah dari per dibawah kursi menjadi dekat roda. Makin dekat
peredamnya ditaruh ke sumber makin efisien kerjanya. Ya tentu IS pada lensa
lebih bagus karena gerakan sinar lebih duluan masuk di lensa baru diteruskan ke
sensor. Namun IS juga memiliki keterbatasan dalam meredam getaran.
Nah disaat speed sudah terlalu
lambat inilah kita harus menggunakan tripot. Sebenarnya fungsi tripot ada dua,
yang satunya akan saya jelaskan pada bagian focusing. Satuhal yang perlu di
ingat, matikan IS jika anda memotret menggunakan tripot.
2.
Aperture
Aperture atau diafragma
merupakan istilah untuk bukaan lensa. Apabila diibaratkan sebagai jendela, maka
diafragma adalah kiray / gordyn yang dapat dibuka atau ditutup untuk
menyesuaikan banyaknya cahaya yang masuk. Pada kamera aperture dilambangkan
dengan huruf F dan dengan satuan sebagai berikut:
f/1.2
f/1.4
f/1.8
f/2.0
f/2.8
f/3.5
f/4.0
dst.
Semakin kecil angka satuan maka
akan semakin besar bukaan lensa ( f/1.4 lebih besar bukaannya dibandingkan
dengan f/4.0 ).
semakin lebar aperture dibuka
(angka kecil) maka akan semakin sempit/pendek Depth of field (DOF)/ruang tajam
yang kita dapatkan. Dan semakin sempit lubangnya (angka besar) maka akan
semakin panjang Depth of field (DOF)/ruang tajam yang kita dapatkan. Menyangkut
masukan dari oom Lay Kana ada semacam teori bahwa suatu lensa itu akan maksimal
lensanya dalam merekam subject apabila aperturnya diset sekitar 3 stop lebih
sempit dari apertur terluasnya. Contoh: jika lensa dengan bukaan terlebar 2,8;
maka foto terbeningnya akan kita temukan pada bukaan 8.
3.
ISO
Angka dari ISO
sendiri yaitu (untuk perubahan 1 stop): 50, 100, 200, 400, 800, 1600, 3200,
6400. Semakin tinggi angka ISO maka akan semakin sensitif sensor/film apabila
terkena sinar. Yang perlu diketahui bagaimana ISO mempengaruhi foto kita yaitu:
iso lebih tinggi akan cenderung menyebabkan foto lebih noise, kurang kontras,
kurang resolusi.
Sedikit tambahan
untuk angka-angka di atas yang berhubungan dengan stop adalah sebagai berikut:
ketika anda memotret dengan exposure speed 60, diafragma 8, dan ISO 100.
Ternyata anda beranggapan subject anda kurang beku dan memutuskan untuk
menaikkan speed menjadi 125 (1 stop). Untuk mendapat nilai eksposure (gelap
terang yang sama pada foto) berarti anda harus melebarkan bukaan diafragma anda
menjadi 5,6 (dari 8 menjadi 5,6 = 1 stop) atau anda harus menaikkan iso anda
menjadi 200 (naik 1 stop). Nah inilah factor tekhnis yang membuat foto tiap
fotografer itu berbeda-beda. Dalam kondisi tertentu ada fotografer yang lebih
suka mengorbankan speed, ada yang mengorbankan ruangtajam, dan ada yang lebih
toleransi terhadap noise yang ada pada foto mereka.
Nah disinilah anda
memberikan keputusan ingin menggunakan mode yang mana pada kreatif zone. Kalo
prioritas anda pada diafragma misalnya karena anda ingin mendapat dof yang
stabil gunakan mode AV karena aperture anda akan selalu tetap dan speed anda
secara otomatis akan dicarikan camera. Tapi kalo prioritas anda pada speed
misalnya karena ingin selalu subjectnya beku, gunakan mode tv karena speed anda
akan selalu tetap sedangkan apertur akan ditentukan secara otomatis oleh
camera. Kalo terjadi mentok dimana contohnya pada stelan tv, anda tetapkan anda
ingin memotret pada speed 125. angka exposure anda pada metering camera
menunjukkan angka 2,8 dan anda sedang menggunakan lensa dengan f terlebarnya
maximal 2,8. Lalu angka tersebut berkedip-kedip, ini menandakan pada tingkat
iso yang sedang anda gunakan keadaannya masih under walaupun settingan otomatis
yang dicarikan oleh kamera (dalam hal ini aperture) sudah maksimal. Berarti
anda harus menaikkan ISO sampai aperturnya tidak berkedip lagi agar exposure
yang anda dapatkan pas. Biasanya ketika berkedip kalo anda paksa untuk memotret
tanpa merubah ISO, maka speednya akan menyesuaikan sendiri yang pada kasus ini
ke speed yang lebih rendah walaupun anda sedang menggunakan mode tv.
apabila anda ragu terhadapa
nilai exposure yang anda ingin kan, ada baiknya anda melakukan braketing (AEB =
auto exposure baketing). Yaitu sebuah fasilitas dari camera dimana pada tiga
frame yang kita foto akan terdapat ukuran under, ukuran yang pas menurut
camera, dan ukuran over. Berapa stop under dan overnya pun dapat kita stel...
Jadi setiap subject foto harus kita potret tiga kali, dan kita akan memperoleh
tiga foto dengan exposure berbeda. Cara settingnya: menu --> AEB --> Set
--> quick control dial (untuk menentukan berapa stopnya) --> set.
Mode pada kamera fungsi
manual cukup variatif,tergantung pada model dan merk kameranya, namun secara
keseluruhan, mode yang ada pada kamera fungsi manual adalah:
v
M= Full Manual (Pada mode ini pengaturan kamera
sepenuhnya manual, baik shutter speed, aperture, ISO, dsb).
v
A= Aperture Priority (Pada mode ini aperture dapat diatur
sesuai dengan kehendak, namun shutter speed akan mengimbangi secara otomatis
akan kebutuhan cahaya sesuai dengan besar aperture).
v
S= Shutter Priority (Pada mode ini shutter speed dapat diatur
sesuai dengan kehendak, namun aperture akan mengimbangi secara otomatis
kebutuhan cahaya yang sesuai dengan shutter speed).
v P= Program (Pada
mode ini baik aperture maupun shutter speed akan mengkalkulasi secara otomatis
sesuai dengan kebutuhan cahaya, hanya saja pada mode ini tingkat exposure dapat
diatur sesuai dengan kehendak).
Berikut ini adalah
mode pada kamera yang terkadang juga terdapat pada kamera tertentu:
v
Auto= Mode auto merupakan mode dimana kamera secara penuh
mengatur akan segala kebutuhan pengaturan, dengan kata lain pada mode ini
fotografer tinggal "jepret" saja.
v
Portrait= Mode ini merupakan pencabangan mode full auto,
namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan portrait ( foto manusia ), seperti
penggunaan tonal warna untuk skin tone, dsb.
v
Landscape= Mode ini merupakan pencabangan mode full auto,
namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan foto pemandangan ( landscape), seperti
tone warna yang lebih vivid atau lain sebagainya.
v
Macro= Mode ini merupakan pencabangan mode full auto,
namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan foto macro ( jarak dekat sehingga
objek tampak lebih besar ), seperti fokus lensa yang lebih disesuaikan.
v
Moving Object= Mode ini merupakan pencabangan mode full
auto, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan pemotretan objek yang bergerak,
sehingga fokus lensa akan lebih cepat bergerak menyesuaikan dengan pergerakan
objek.
v
Night Landscape= Mode ini merupakan pencabangan mode full
auto, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan foto pemandangan pada malam
hari.
v
Night Portrait= Mode ini merupakan pencabangan mode full
auto, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan foto portrait malam hari atau
cahaya redup.
v
Landscape= Mode ini merupakan pencabangan mode full auto,
namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan foto pemandangan ( landscape), seperti
tone warna yang lebih vivid atau lain sebagainya.
v
Macro= Mode ini merupakan pencabangan mode full auto,
namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan foto macro ( jarak dekat sehingga
objek tampak lebih besar ), seperti fokus lensa yang lebih disesuaikan.
C.
teknik dasar serta kompsisi dalam fotografi
1)
Deep Of Field/ D.O.F
Depth
of field atau sering disingkat menjadi DOF merupakan salah satu teknik fotgrafi
yang paling dasar. Setiap foto memiliki kedalaman ( depth ) yang terbagi atas
foreground ( depan ) dan background ( belakang ). Fokus pada lensa kamera dapat
dikendalikan atau diarahkan pada objek tertentu. Pengendalian Depth of Field
berguna untuk membatasi fokus pada foto dan lebih memberi kesan hidup pada
foto.
2)
Freeze
Setelah
memahami DOF yang berkaitan dengan aperture, kali ini akan dijelaskan tentang
freeze, dimana sangat berkaitan erat dengan shutter speed. Foto freeze
bertujuan untuk mengabadikan suatu moment dengan gerakan cepat sehingga dapat
tertangkap oleh kamera sebagai gambar diam, seperti foto tetesan air, ledakan,
atau foto ketika orang sedang melompat dan lain sebagainya. Yang paling utama
dalam mendapatkan foto freeze adalah mengatur shutter speed secepat mungkin (
misal 1/500 detik, 1/1000 detik, hingga 1/8000 detik ). Karena tuntutan shutter
speed yang cepat, maka tentunya cahaya yang dibutuhkan sangat banyak, maka dari
itu biasanya foto freeze amatir lebih banyak dilakukan di ruang terbuka pada
siang hari dimana cahaya matahari bersinar terang. Bukan tidak mungkin untuk memperoleh
foto freeze pada malam hari atau cahaya yang minim, namun peralatan pendukung
mutlak diperlukan seperti flash atau bahkan lampu studio dengan kecepatan
singkronisasi yang tinggi pula.
3)
Movement
Bertentangan
dengan foto freeze, foto movement bertujuan memperlihatkan pergerakan objek
dengan shutter speed yang rendah, sehingga pergerakan objek dapat tampak pada
hasil foto. Shutter speed yang digunakan cenderung rendah agar pergerakan objek
dapat terekam ( misal 1/5 detik, 1 detik, dst ), namun yang patut diperhatikan
adalah kamera harus tetap dalam posisi statis agar background daripada objek
tetap fokus walaupun shutter speed lambat.
4)
Panning
Mirip
dengan metode foto movement, namun dalam foto panning gerakan objek lebih
ditampilkan melalui background yang bergerak. Prinsip dasar foto panning sama
dengan foto movement, hanya saja pada saat pemotretan, kamera ikut bergerak
mengimbangi gerakan objek, sehingga objek tetap fokus namun background yang
dihasilkan bergerak.
5)
Bulb
Foto bulb dapat
diperoleh melalui mode manual dengan mengatur shutter speed pada setting paling
lambat ( BULB ), dimana shutter akan terus terbuka selama tombol ditekan dan
akan menutup kembali pada saat tombol dilepas. Yang patut diperhatikan pada
foto bulb adalah posisi kamera yang mutlak harus statis, maka gunakanlah tripod
untuk menghasilkan foto bulb.
www.Kaskus.us (forum Fotografi).
Posted by kamera kemari at 6/05/2009 09:40:00 PM. Labels: fotografi dasar.
Tutorial
www.fotografi.net. Abram
Derisko Putra, Broe
www.fotografi.net. Bernardo
Halim, jeber
www.fotografi.net. Romi Tri
Widagdo
Langganan:
Postingan (Atom)