Selasa, 24 Januari 2012

FOTOGRAFI

  I.       BASIC FOTOGRAFI

A.      Apa itu Foto?
Bagi kebanyakan orang, pertanyaan “Apa itu foto?” mungkin dianggap sepele dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Bahkan ketika diajukan kepada para peminat fotografi, jawaban yang biasanya mengemuka adalah definisi yang diberikan oleh kamus, yaitu gambar yang dihasilkan dengan menangkap cahaya pada medium  yang telah dilapisi bahan kimia peka cahaya atau sensor digital (kombinasi dari photo yang berarti cahaya, dan graph yang berarti catatan, tulisan, atau lukisan). Tidak banyak yang sadar bahwa di balik kesederhanaan artefak yang benama foto tersimpan kerumitan yang membuat definisi foto tidak sesederhana yang dibayangkan.
Pada level wujud, foto memang sebuah gambar, sebuah penyerupaan yang dihasilkan lewat proses yang dinamakan fotografi. Namun pada definisi paling dasar ini pun, tersimpan persoalan. Ada banyak jenis gambar yang dapat digolongkan sebagai foto. Pada abad ke-19, ada daguerrotype, heliotype, cetak albumen, cetak gelatin perak, photogravure,  dan lukisan fotogenik. Di abad ke-20, ada polaroid, pindai elektronik (electronic scanner), foto digital, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan wujud seperti itu mengingatkan kepada kita akan kerumitan yang inheren pada sifat foto itu sendiri: Definisi foto sebagai objek selalu terkait dengan (dan bergantung pada) konteks sejarah, konteks sosial, konteks budaya, dan konteks teknologi. Dengan kata lain, konteks-konteks itulah yang sebenarnya menjadi salah satu penentu definisi, makna, dan nilai foto.
Kerumitan definisi foto tidak hanya terjadi pada level wujud. Secara fungsional, definisi, makna, dan nilai foto terus mengalami perubahan sejalan dengan transformasi dan metamorfosis wujudnya. Dari segi warna, foto hitam putih dan foto warna adalah dua hal yang berbeda. Dari segi ukuran dan bentuk, foto besar dan foto kecil, foto persegi dan foto persegi panjang atau bulat juga berbeda. Kualitas pencetakan (mengilat atau dof, dicetak di atas kertas tipis atau tebal), media yang digunakan (analog atau digital), cara penyimpanan dan penyajian (dalam dompet, album, bingkai, atau media penyimpanan dan penyajian digital), dan tujuan penggunaan (untuk kartu tanda pengenal diri, koran, majalah, atau pameran di galeri) juga mengubah dan memengaruhi pemahaman kita terhadap nilai dan status foto sebagai objek. Foto KTP yang berfungsi sebagai penanda jatidiri, misalnya, boleh jadi berubah status dan mendapat tanggapan yang berbeda jika dipajang di galeri dan dinyatakan sebagai spesimen praktik fotografi yang khas.
Kerumitan definisi foto tidak hanya melibatkan wujud an fungsinya, namun juga pada genre-genre yang dilabelkan kepadanya. Pengategorian foto ke dalam genre-genre yang berbeda merupakan upaya mengodifikasi referensi dan status foto dengan menggunakan asumsi-asumsi yang dikonstruksi. Label genre foto seni, misalnya, melibatkan asumsi-asumsi yang berbeda dengan asumsi-asumsi yang disandang oleh foto dokumentasi. Akibat pengategorian dan konstruksi asumsi-asumsi yang dipakai untuk pengategorian itu, foto yang fungsional – misalnya, foto dokumentasi – seringkali dianggap kurang bernilai dibandingkan dengan foto yang kurang atau tidak fungsional, seperti foto seni.
Proses pengategorian foto dengan menggunakan asumsi-asumsi yang dikonstruksi ini telah terjadi sejak masa-masa awal perkembangan fotografi. The Photographic Society, yang didirikan di London pada tahun 1853 dan kemudian berubah nama menjadi The Royal Photographic Society, misalnya, didirikan dengan tujuan untuk menjadikan praktik fotografi sebagai bagian dari tradisi akademik seni rupa. Karena ketiadaan referensi yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk menyusun hirarki dan melakukan pengategorian genre foto pada waktu itu, maka dipakailah asumsi-asumsi dari sumber seni visual terdekat, yaitu seni lukis. Akibatnya, praktik fotografi terus dibayang-bayangi oleh “hantu seni lukis”: Fotografi sebagai cabang seni tidak memiliki tradisi akademik yang mandiri. Keberadaannya sebagai salah satu cabang praktik seni selalu dikaitkan dengan (dan didasarkan pada) tradisi akademik seni lukis. Oleh karena itu, kita tidak perlu heran bila praktik, apresiasi, dan kritik fotografi hingga saat ini masih terus menggunakan paradigma-paradigma seni lukis.
Jadi, apa itu foto?
Jawaban atas pertanyaan ini akan terus bergulir dan menjadi perdebatan .
B.       Sekilas Kamera SLR?
Kamera SLR ( Single Lens Reflex ) atau D-SLR ( Digital ) merupakan kamera dengan jendela bidik ( viewfinder ) yang memberikan gambar sesuai dengan sudut pandang lensa melalui pantulan cermin yang terletak di belakang lensa. Pada umumnya kamera biasa memiliki tampilan dari jendela bidik yang berbeda dengan sudut pandang lensa karena jendela bidik tidak berada segaris dengan sudut pandang lensa.
Eksposure / pencahayaan adalah: banyaknya sinar yang diterima oleh sensor / film. Apabila kurang sinarnya maka foto akan terlihat cendrung gelap / under, sedangkan apa bila kelebihan maka foto akan terlihat cendrung keterangan / over. Pencahayaan sendiri merupakan kombinasi antara AV / aperture value yaitu besar kecilnya diafragma, TV / time value / shutter speed yaitu lamanya bukaan rana, dan terakhir ISO / iternasional standard organization yang dalam hal ini merupakan standard internasional untuk tingkat kepekaan sensor / film.
Exposure Value (EV) adalah perpaduan antara shutter speed dan diafragma, bisa juga dikatakan sebagai nilai seberapa terang/gelap foto tersebut. Angka EV adalah angka untuk 1 kali exposure (1 frame 1 take), tidak berlaku untuk double/multi exposure. Lebih lengkap lagi, EV adalah hasil perhitungan antara speed, diafragma, dan ISO. Berikut ini rumusnya:
EV = log2(aperture2 x (1/shutter speed) x (ISO sensitivity/100))
Dalam fotografi, EV adalah banyaknya sinar yang diperlukan untuk 1 kali exposure, angka EV juga melambangkan perpaduan yang pas antara shutter speed dengan diafragma untuk mendapatkan exposure normal, tidak kurang dan tidak lebih.
Jadi misalnya, Anda berada di ruangan A mendapatkan speed 1/125 dan diafragma 5.6 serta ISO 100. Berarti nilai EV adalah 12. Dan ketika Anda berada di ruangan B Anda mendapatkan diafragma 4, maka untuk mendapatkan nilai EV (besar gelap/terang) yang sama, Anda sebaiknya menggunakan speed 1/250 Karena nilai EV 1/125 & 5.6 dengan 1/250 & 4 adalah sama. Di dalam feature kamera, beda EV dapat kita atur sesuai dengan keperluan, mengubah beda EV di kamera sama dengan mengubah kompensasi exposure.Beda kompensasi ada yang 1/2 atau 1/3. Di kamera saya, Canon Powershot A70, dalam mode P,Av, dan TV, EV dapat diatur seperti hal diatas. Kalau dalam mode Manual (M), beda EV dapat dicari dengan mengkombinasikan speed dan diafragma. Berikut ini adalah contoh beda EV , masing-masing beda EV adalah 1/3. Di buat menggunakan mode M pada kamera, mengkombinasikan speed dan diafragma untuk mencari beda EV tersebut:
Eksposure ini sendiri sering dianalogi kan seperti kita hendak mengisi gelas dengan air dari keran. Dimana putaran keran tersebut diibaratkan dengan aperture, lama keran dibuka diibaratkan dengan shutter speed, gelasnya diibaratkan dengan ISO, tekanan air diibaratkan dengan intensitas penerangan (terang atau low light), dan terakhir airnya diibaratkan dengan sinar. Maka jika keran kita buka lebar maka gelas akan cepat penuhnya. Sedangkan kalo keran kita kecilin maka gelas akan lebih lama penuhnya... Dan ketika kita pake gelas besar (iso rendah) maka kita juga akan semakin lama mengisi gelas tersebut, beda dengan jika gelasnya kita kecilin (iso tinggi) maka gelas tersebut akan lebih cepat penuhnya... Tapi tetap air yang digelas besar lebih banyak dari yang di gelas kecil. Begitu pula tekanan air, semakin tinggi tekanan air (kondisi penerangan terang), atau semakin kecil tekanan air (low light) akan berpengaruh kepada waktu pengisian. Namun terkadang sebelum gelas penuh kita sudah menyetop keran maka terjadilah keadaan under. Atau malah sebaliknya walau gelas sudah penuh tapi keran belom kita tutup maka terjadilah keadaan over.
Enaknya pada zaman sekarang eksposure ini sudah dihitung otomatis oleh camera dengan system yang namanya metering. Matering ini bekerja seperti light/flash meter. Bedanya system ini hanya mampu mengukur continous light saja. Dan keuntungan tekhnologi sekarang lainnya adalah foto kita bisa dianalisa dari histogram pada camera... Sedangkan kalo zaman dulu seorang fotografer harus membawa segepok catatan yang berisikan hal-hal seperti kalo foto siang hari bolong av, tv, nya berapa pada iso sekian, terus kalo ada awannya jadi sekian, kalo sore sekian, dst. prinsip kerja dari metering ini sendiri yaitu menentukan eksposure warna abu-abu 18% (sesuai gray card) pada suatu kondisi penerangan... Makanya apabila kita memotret benda atau keadaan dominan putih / terang / hi key akan terlihat abu-abu/gelap pada foto kita, dan apabila kita memotret benda dominan hitam / gelap / low key juga akan terlihat abu-abu / pada foto kita lebih terang dari keadaan sebenarnya... Dan makanya di camera kita ada exposure compensation (pada kelas dua digit angkanya -2 s.d. 2). Dan kesimpulan juga kalo mau memotret dengan exposure yang pas (corect exposure) ya ukur / metering lah pada gray card yang diletakkan pada tempat penerangan yang mau kita ukur exposurenya. satu lagi jika contras antara tempat yang paling gelap atau terang menyebabkan sudah tidak tertangkap lagi ditail pada tempat gelap atau terang tersebut, berarti anda harus memilih antara tetap pada exposure itu atau mengorbankan salah satunya (mempertahankan ditail di tempat gelap atau di tempat terang). Sukur-sukur kalo tempat gelapnya tidak luas dan bisa kita angkat (fill in) dengan penerangan buatan seperti flash. Pada saat kontras tinggi inilah dibutuhkannya camera dengan cakupan dynamic range yang luas atau menggunakan tekhnik edit yang biasa kita sebut HDR.
Kembali ke komponen dari exposure:
1.        Shutter Speed
Ada pun angka pada shutter speed adalah sebagai berikut (untuk pergeseran satu stop): ...8000, 4000, 2000, 1000, 500, 250, 125, 60, 30, 15, 8, 4, 0'5, 1', 2', 4', 8', 15', 30', bulb (selama shutter ditekan camera akan terus merekam)... Maksud angka diatas sendiri adalah seper (angka diatas)detik dan detik untuk tanda '. Yang perlu dicermati bagaimana speed mempengaruhi foto kita yaitu: dengan speed tinggi subject bergerak (apalagi diam) akan terlihat beku sehingga terlihat tajam... Sedangkan pada speed rendah motion (gerakan) dari subject bergerak juga akan terekam oleh camera... Dan kalau dilamakan lagi pada saat tertentu benda bergerak tidak akan terekam sama sekali oleh camera (tidak ada pada foto).
Nah untuk menentukan speed sendiri agar foto kita freze (beku) dan tajam ada dua hal yang harus diperhatikan:



1.1.   Speed minimal untuk membekukan gerak subject (subject motion)
Pada dasarnya macam-macam tingkat shutter speed untuk membekukan subject. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kecepatan dari si subject sendiri. Seperti kalo motret orang yang sedang pause (pose) mungkin dengan 0,5 detik tetap beku. Tapi speed segitu belom tentu beku kalo orangnya jalan. Antara jalan dan lari juga beda speed untuk membekukannya. Gerakan di atas panggung mungkin beku pada speed 1/125dtk. Tapi mungkin belom bisa membekukan motor dijalanan. Begitu pula dengan orang yang sedang balapan tentu harus lebih cepat lagi speed untuk membekukannya. Namun selain dari kecepatan subject sendiri, ada hal lain yang juga ikut mempengaruhi yaitu jarak subject kita dan arah gerakannya. Semakin dekat subject semakin cepat gerakannya. Ini alasan kenapa pesawat terbang yang begitu kencang tetapi terlihat pelan ketika di langit. Karena jaraknya emang jauh. Kalo arah gerakan sabject mendekati atau menjauhi kita akan beda kecepatannya ketika sisubject bergerak sejajar dengan pandangan kita.

1.2.   Speed minimal untuk melakukan pemotretan dengan cara hands held (dengan cara memegang kamera tanpa tumpuan atau tripot)
Pada prinsipnya makin panjang focal length yang kita gunakan maka akan makin gampang gerakan pada camera kita, yang akan ikut terekam pada foto. Makannya rumus hands held ini dikaitkan dengan panjang focal length yaitu speed = 1/(panjang focal length)
Nah disinilah IS (image stabilizer) itu sangat berperan. IS sendiri menurut analogi saya prisipnya sama dengan shockbreaker pada mobil. Tekhnologi berperan untuk meredam getaran yang terjadi... Mungkin yang sering jadi pertanyaan bagusan mana sih IS pada lensa apa pada body. Kalo menurut pendapat pribadi saya analoginya sama ketika shock pada motor berpindah dari per dibawah kursi menjadi dekat roda. Makin dekat peredamnya ditaruh ke sumber makin efisien kerjanya. Ya tentu IS pada lensa lebih bagus karena gerakan sinar lebih duluan masuk di lensa baru diteruskan ke sensor. Namun IS juga memiliki keterbatasan dalam meredam getaran.
Nah disaat speed sudah terlalu lambat inilah kita harus menggunakan tripot. Sebenarnya fungsi tripot ada dua, yang satunya akan saya jelaskan pada bagian focusing. Satuhal yang perlu di ingat, matikan IS jika anda memotret menggunakan tripot.
2.        Aperture
Aperture atau diafragma merupakan istilah untuk bukaan lensa. Apabila diibaratkan sebagai jendela, maka diafragma adalah kiray / gordyn yang dapat dibuka atau ditutup untuk menyesuaikan banyaknya cahaya yang masuk. Pada kamera aperture dilambangkan dengan huruf F dan dengan satuan sebagai berikut:
f/1.2
f/1.4
f/1.8
f/2.0
f/2.8
f/3.5
f/4.0
dst.
Semakin kecil angka satuan maka akan semakin besar bukaan lensa ( f/1.4 lebih besar bukaannya dibandingkan dengan f/4.0 ).

semakin lebar aperture dibuka (angka kecil) maka akan semakin sempit/pendek Depth of field (DOF)/ruang tajam yang kita dapatkan. Dan semakin sempit lubangnya (angka besar) maka akan semakin panjang Depth of field (DOF)/ruang tajam yang kita dapatkan. Menyangkut masukan dari oom Lay Kana ada semacam teori bahwa suatu lensa itu akan maksimal lensanya dalam merekam subject apabila aperturnya diset sekitar 3 stop lebih sempit dari apertur terluasnya. Contoh: jika lensa dengan bukaan terlebar 2,8; maka foto terbeningnya akan kita temukan pada bukaan 8.

3.        ISO
Angka dari ISO sendiri yaitu (untuk perubahan 1 stop): 50, 100, 200, 400, 800, 1600, 3200, 6400. Semakin tinggi angka ISO maka akan semakin sensitif sensor/film apabila terkena sinar. Yang perlu diketahui bagaimana ISO mempengaruhi foto kita yaitu: iso lebih tinggi akan cenderung menyebabkan foto lebih noise, kurang kontras, kurang resolusi.

Sedikit tambahan untuk angka-angka di atas yang berhubungan dengan stop adalah sebagai berikut: ketika anda memotret dengan exposure speed 60, diafragma 8, dan ISO 100. Ternyata anda beranggapan subject anda kurang beku dan memutuskan untuk menaikkan speed menjadi 125 (1 stop). Untuk mendapat nilai eksposure (gelap terang yang sama pada foto) berarti anda harus melebarkan bukaan diafragma anda menjadi 5,6 (dari 8 menjadi 5,6 = 1 stop) atau anda harus menaikkan iso anda menjadi 200 (naik 1 stop). Nah inilah factor tekhnis yang membuat foto tiap fotografer itu berbeda-beda. Dalam kondisi tertentu ada fotografer yang lebih suka mengorbankan speed, ada yang mengorbankan ruangtajam, dan ada yang lebih toleransi terhadap noise yang ada pada foto mereka.
Nah disinilah anda memberikan keputusan ingin menggunakan mode yang mana pada kreatif zone. Kalo prioritas anda pada diafragma misalnya karena anda ingin mendapat dof yang stabil gunakan mode AV karena aperture anda akan selalu tetap dan speed anda secara otomatis akan dicarikan camera. Tapi kalo prioritas anda pada speed misalnya karena ingin selalu subjectnya beku, gunakan mode tv karena speed anda akan selalu tetap sedangkan apertur akan ditentukan secara otomatis oleh camera. Kalo terjadi mentok dimana contohnya pada stelan tv, anda tetapkan anda ingin memotret pada speed 125. angka exposure anda pada metering camera menunjukkan angka 2,8 dan anda sedang menggunakan lensa dengan f terlebarnya maximal 2,8. Lalu angka tersebut berkedip-kedip, ini menandakan pada tingkat iso yang sedang anda gunakan keadaannya masih under walaupun settingan otomatis yang dicarikan oleh kamera (dalam hal ini aperture) sudah maksimal. Berarti anda harus menaikkan ISO sampai aperturnya tidak berkedip lagi agar exposure yang anda dapatkan pas. Biasanya ketika berkedip kalo anda paksa untuk memotret tanpa merubah ISO, maka speednya akan menyesuaikan sendiri yang pada kasus ini ke speed yang lebih rendah walaupun anda sedang menggunakan mode tv.
apabila anda ragu terhadapa nilai exposure yang anda ingin kan, ada baiknya anda melakukan braketing (AEB = auto exposure baketing). Yaitu sebuah fasilitas dari camera dimana pada tiga frame yang kita foto akan terdapat ukuran under, ukuran yang pas menurut camera, dan ukuran over. Berapa stop under dan overnya pun dapat kita stel... Jadi setiap subject foto harus kita potret tiga kali, dan kita akan memperoleh tiga foto dengan exposure berbeda. Cara settingnya: menu --> AEB --> Set --> quick control dial (untuk menentukan berapa stopnya) --> set.

Mode pada kamera fungsi manual cukup variatif,tergantung pada model dan merk kameranya, namun secara keseluruhan, mode yang ada pada kamera fungsi manual adalah:
v  M= Full Manual (Pada mode ini pengaturan kamera sepenuhnya manual, baik shutter speed, aperture, ISO, dsb).
v  A= Aperture Priority (Pada mode ini aperture dapat diatur sesuai dengan kehendak, namun shutter speed akan mengimbangi secara otomatis akan kebutuhan cahaya sesuai dengan besar aperture).
v  S= Shutter Priority (Pada mode ini shutter speed dapat diatur sesuai dengan kehendak, namun aperture akan mengimbangi secara otomatis kebutuhan cahaya yang sesuai dengan shutter speed).
v  P= Program (Pada mode ini baik aperture maupun shutter speed akan mengkalkulasi secara otomatis sesuai dengan kebutuhan cahaya, hanya saja pada mode ini tingkat exposure dapat diatur sesuai dengan kehendak).
Berikut ini adalah mode pada kamera yang terkadang juga terdapat pada kamera tertentu:
v  Auto= Mode auto merupakan mode dimana kamera secara penuh mengatur akan segala kebutuhan pengaturan, dengan kata lain pada mode ini fotografer tinggal "jepret" saja.
v  Portrait= Mode ini merupakan pencabangan mode full auto, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan portrait ( foto manusia ), seperti penggunaan tonal warna untuk skin tone, dsb.
v  Landscape= Mode ini merupakan pencabangan mode full auto, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan foto pemandangan ( landscape), seperti tone warna yang lebih vivid atau lain sebagainya.
v  Macro= Mode ini merupakan pencabangan mode full auto, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan foto macro ( jarak dekat sehingga objek tampak lebih besar ), seperti fokus lensa yang lebih disesuaikan.
v  Moving Object= Mode ini merupakan pencabangan mode full auto, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan pemotretan objek yang bergerak, sehingga fokus lensa akan lebih cepat bergerak menyesuaikan dengan pergerakan objek.
v  Night Landscape= Mode ini merupakan pencabangan mode full auto, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan foto pemandangan pada malam hari.
v  Night Portrait= Mode ini merupakan pencabangan mode full auto, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan foto portrait malam hari atau cahaya redup.
v  Landscape= Mode ini merupakan pencabangan mode full auto, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan foto pemandangan ( landscape), seperti tone warna yang lebih vivid atau lain sebagainya.
v  Macro= Mode ini merupakan pencabangan mode full auto, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan foto macro ( jarak dekat sehingga objek tampak lebih besar ), seperti fokus lensa yang lebih disesuaikan.

C.      teknik dasar serta kompsisi dalam fotografi
1)    Deep Of Field/ D.O.F
Depth of field atau sering disingkat menjadi DOF merupakan salah satu teknik fotgrafi yang paling dasar. Setiap foto memiliki kedalaman ( depth ) yang terbagi atas foreground ( depan ) dan background ( belakang ). Fokus pada lensa kamera dapat dikendalikan atau diarahkan pada objek tertentu. Pengendalian Depth of Field berguna untuk membatasi fokus pada foto dan lebih memberi kesan hidup pada foto.
2)      Freeze
Setelah memahami DOF yang berkaitan dengan aperture, kali ini akan dijelaskan tentang freeze, dimana sangat berkaitan erat dengan shutter speed. Foto freeze bertujuan untuk mengabadikan suatu moment dengan gerakan cepat sehingga dapat tertangkap oleh kamera sebagai gambar diam, seperti foto tetesan air, ledakan, atau foto ketika orang sedang melompat dan lain sebagainya. Yang paling utama dalam mendapatkan foto freeze adalah mengatur shutter speed secepat mungkin ( misal 1/500 detik, 1/1000 detik, hingga 1/8000 detik ). Karena tuntutan shutter speed yang cepat, maka tentunya cahaya yang dibutuhkan sangat banyak, maka dari itu biasanya foto freeze amatir lebih banyak dilakukan di ruang terbuka pada siang hari dimana cahaya matahari bersinar terang. Bukan tidak mungkin untuk memperoleh foto freeze pada malam hari atau cahaya yang minim, namun peralatan pendukung mutlak diperlukan seperti flash atau bahkan lampu studio dengan kecepatan singkronisasi yang tinggi pula.
3)      Movement
Bertentangan dengan foto freeze, foto movement bertujuan memperlihatkan pergerakan objek dengan shutter speed yang rendah, sehingga pergerakan objek dapat tampak pada hasil foto. Shutter speed yang digunakan cenderung rendah agar pergerakan objek dapat terekam ( misal 1/5 detik, 1 detik, dst ), namun yang patut diperhatikan adalah kamera harus tetap dalam posisi statis agar background daripada objek tetap fokus walaupun shutter speed lambat.

4)      Panning
Mirip dengan metode foto movement, namun dalam foto panning gerakan objek lebih ditampilkan melalui background yang bergerak. Prinsip dasar foto panning sama dengan foto movement, hanya saja pada saat pemotretan, kamera ikut bergerak mengimbangi gerakan objek, sehingga objek tetap fokus namun background yang dihasilkan bergerak.

5)      Bulb
Foto bulb dapat diperoleh melalui mode manual dengan mengatur shutter speed pada setting paling lambat ( BULB ), dimana shutter akan terus terbuka selama tombol ditekan dan akan menutup kembali pada saat tombol dilepas. Yang patut diperhatikan pada foto bulb adalah posisi kamera yang mutlak harus statis, maka gunakanlah tripod untuk menghasilkan foto bulb.

www.Kaskus.us (forum Fotografi). Posted by kamera kemari at 6/05/2009 09:40:00 PM. Labels: fotografi dasar. Tutorial
www.fotografi.net. Abram Derisko Putra, Broe
www.fotografi.net. Bernardo Halim, jeber
www.fotografi.net. Romi Tri Widagdo


1 komentar: